Piru (21/2/2025), saatkita.com - Kasus sengketa kepemilikan lahan Kolam Air Putri di Dusun Waiyoho, Seram Bagian Barat, kembali menjadi sorotan. Kali ini, perhatian publik tertuju pada dasar kepemilikan lahan yang digunakan dalam perjanjian kerja sama dalam hal ini pengelolaan lahan sebagai wisata pada tahun 2021 antara Dinas Pariwisata Pemerintah Daerah Seram Bagian Barat dan seorang person mengklaim sebagai pemilik lahan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari sumber yang tidak ingin dimediakan, dokumen kepemilikan lahan yang menjadi dasar perjanjian tersebut diduga baru diterbitkan pada tahun 2023. Jika benar, hal ini menimbulkan pertanyaan serius terkait keabsahan perjanjian yang telah ditandatangani pada Tahun 2021 tersebut.
Ketidaksesuaian Dokumen Kepemilikan dan Potensi Maladministrasi Perjanjian kerja sama antara Dinas Pariwisata Seram Bagian Barat dan person yang mengklaim sebagai pemilik lahan Kolam Air Putri seharusnya didasarkan pada dokumen sah kepemilikan lahan.
Namun, jika dokumen kepemilikan baru diterbitkan pada tahun 2023, berarti pada saat perjanjian dibuat pada tahun 2021, pihak yang mengklaim sebagai pemilik lahan belum memiliki dasar hukum yang sah atas lahan tersebut.
Dalam hukum perdata, suatu perjanjian yang didasarkan pada informasi atau dokumen yang tidak sah dapat dianggap cacat hukum dan berpotensi batal demi hukum.
Mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata, salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya objek yang jelas dan dapat dimiliki secara sah oleh pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut.
Sehingga jika kepemilikan lahan baru terbit dua tahun setelah perjanjian dibuat, maka perjanjian tersebut dapat dipersoalkan secara hukum karena tidak memenuhi unsur "sebab yang halal" dalam perjanjian.
Ketentuan mengenai batalnya suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab yang sah diatur dalam Pasal 1335 KUH Perdata, yang menyatakan:
"Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan".
Dengan demikian, apabila suatu perjanjian dibuat berdasarkan hak kepemilikan yang belum sah, maka perjanjian tersebut dapat dianggap tidak memiliki kekuatan hukum dan dapat dibatalkan berdasarkan ketentuan perdata yang berlaku.
Sehingga hal ini juga berpotensi menimbulkan dugaan maladministrasi di tubuh Dinas Pariwisata yang menandatangani perjanjian tersebut tanpa melakukan verifikasi menyeluruh atas status kepemilikan lahan tersebut.
Dugaan Pungutan Liar (Pungli) dalam Pengelolaan Kolam Air Putri
Jika perjanjian tersebut didasarkan pada kepemilikan yang tidak sah, maka setiap transaksi atau pungutan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang mengklaim sebagai pemilik lahan dapat dianggap sebagai pungutan liar (pungli).
Dalam Pasal 368 KUHPidana, disebutkan bahwa seseorang yang dengan sengaja meminta atau memungut pembayaran secara melawan hukum dapat dikenakan pidana dengan ancaman hukuman penjara.
Selain itu, tindakan ini juga dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang jika terbukti adanya kerja sama dengan oknum pemerintah daerah untuk melegitimasi pungutan yang tidak sah.
Lebih lanjut, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Peraturan Presiden No.87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, pungli masuk dalam kategori korupsi jika dilakukan dengan memanfaatkan posisi atau klaim yang tidak sah untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari masyarakat atau pemerintah.
Investigasi Lapangan dan Penegakan Hukum Kasus ini memerlukan perhatian serius dari aparat penegak hukum dan inspektorat daerah.
Ada dua poin utama yang perlu ditindaklanjuti:
Audit dan Investigasi Terhadap Perjanjian Tahun 2021
Pemerintah Daerah Seram Bagian Barat perlu melakukan audit terhadap perjanjian yang dibuat oleh Dinas Pariwisata dengan pihak yang mengklaim sebagai pemilik lahan.
Jika terbukti bahwa dokumen kepemilikan baru diterbitkan pada 2023, maka perjanjian tersebut harus dibatalkan dan pihak-pihak yang terlibat perlu diperiksa.
Penindakan Terhadap Pungutan Liar
Jika ditemukan adanya pungutan yang dilakukan tanpa dasar kepemilikan yang sah, maka pihak yang bertanggung jawab harus diproses secara hukum sesuai dengan Pasal 368 KUHP dan UU Pemberantasan Korupsi.
Kesimpulan:
Kasus Kolam Air Putri bukan hanya soal sengketa lahan, tetapi juga berpotensi menjadi skandal hukum terkait maladministrasi dan pungutan liar.
Keberadaan dokumen kepemilikan yang baru diterbitkan setelah perjanjian dibuat semakin memperkuat dugaan bahwa perjanjian tersebut tidak sah sejak awal.
Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus segera turun tangan untuk memastikan bahwa pengelolaan wisata Kolam Air Putri berjalan sesuai dengan hukum dan tidak menjadi lahan pungli yang merugikan masyarakat. (Nicko Kastanja)
Posting Komentar